Langsung ke konten utama

BAPAK NEGARA


Oleh: Oryza Sativa
 


“Bang, akhirnya kita punya bapak! Bapak Negara namanya!”. Cecar Agam malam itu, menjelang tidur. Senyumnya amat bahagia.
Wahai Agam, andai waktu itu Abang tak terlalu acuh.
#          #          #
Matahari sudah makin condong ke barat, tapi orang yang aku tunggu tak kunjung datang. Peluh membanjiri kening hingga leherku, ah! Pohon akasia ini tak membantu banyak. Mataku mulai bosan, melihat pedagang dibahu jalan, atau menghitung banyak orang lalu-lalang. Ayolah, kapan orang itu muncul?.  Aku mendengus, tanganku sibuk memutar tutup botol air mineral, lalu menenggaknya.
“BANG!!”. Pekik seseorang sambil menepuk bahuku dari belakang, keras. Sontak beberapa air mineral di mulutku tersembur sia-sia. Aku menoleh, mendapati cengiran kepuasan-orang yang aku tunggu-atas kejahilannya. Adalah Agam, adikku. Usianya baru tujuh tahun, yang beberapa bulan lagi genap berumur delapan tahun. Aku suka rambut Agam, yang meski jarang keramas rambut itu lurus dan hitam.
“Darimana kau?!”. Tanyaku agak ketus.
“Yee.. jangan marah, bercanda kali Bang!”. Aku bergeming. Agam duduk di sampingku, meletakkan lembar-lembar Koran di pangkuannya. Dan bersiap bicara lagi. “Gini deh, Bang! Agam diajak teman, ngobrol sambil makan soto di warteg pojok sana!”. Gamblang Agam sembari menunjuk warteg yang mulai jarang pengunjung itu.
“Dari tadi kau disana?!!”. Tanyaku mulai gila. Bagaimana Agam bisa ada di warteg yang jelas-jelas darisana ia bisa melihatku, duduk bengong menunggunya makan siang seperti biasa. Ah! Dasar Agam!.
Agam cengengesan, lalu mengangguk.
            “Teman yang mana?. Juki, tukang loper koran?. Gimbo pengamen?. Atau Dariah, si penjaja asongan?.” Kataku, penasaran juga.
“Bukan, ini teman baru. Berpendidikan. Kak Daniel”. Ujar Agam bangga, mata sipitnya terlihat membulat kilat. Aku tertegun saat Agam mengatakan kata BER-PEN-DI-DI-KAN itu. Aku hanyut dengan segala hayalanku sementara Agam antusias menceritakan pertemuannya dengan orang ‘berpendidikan’, Kak Daniel ini. Yang menurut Agam, putih dan ganteng. Yang jika aku tak salah dengar dia adalah mahasiswa hukum. Hingga aku disadarkan oleh kata-kata Agam.
“Terus Bang, besok, katanya Kak Daniel janji mau ajarin Agam cara baca dan nulis. Jadi, besok Agam pulangnya agak sorean ya Bang!”. Mataku membulat tak percaya, lidahku kelu.
#          #          #
            Keesokkan harinya, Agam bangun lebih awal dariku. Pukul empat pagi dia sudah berseloroh ingin cepat ke kios Bang Jabrik, gembong loper koran dan pedagang asongan. Aku memang masih bingung dengan perubahan Agam pagi ini, tapi akhirnya aku tertawa juga saat Agam marah-marah pada matahari yang tak kunjung menampakkan diri.
“Hei, matahari! Ayolah, bangun!! Cepatlah pagi!! Agar aku lekas menjual semua koranku. Supaya aku bisa cepat membaca dan menulis!”. Omel Agam sambil menunjuk-nunjuk ufuk timur, persinggahan Sang Matahari yang tentu saja tak mendengar. Karena ya, ini masih pukul empat pagi!!.
“Ah! Matahari memang payah!!”. Gerutu Agam, lalu berjalan masuk rumah kardus kami, dan tak lupa ia menendang kerikil tanah.
#          #          #
            Siang itu, belum pernah aku melihat Agam menjajakan korannya sesemangat ini. Senyumnya terlalu lebar dari biasanya, dan suaranya lebih melengking, cukup untuk menarik perhatian orang-orang agar membeli koran-koran di tangannya. Pertengahan hari, koran-koran Agam ludes terjual. Agam bergegas ke kios Bang Jabrik untuk setoran. Aku ingat betul hari itu, dengan bangga Agam memberikan lembar-lembar berharga hasil keringatnya itu pada Bang Jabrik yang menatapnya tak percaya. Tapi kemudian tertawa puas dan memberi Agam separo keuntungan.
Aku terseyum melihat kejadian yang jarang terjadi itu.
            “Duhai, andai aku memiliki kuasa menjadi apapun yang ku inginkan. Abang ingin menjadi tawa permanen di wajahmu, Gam. Sungguh, Abang berterima kasih telah diizinkan menyaksikan tawa itu hari ini.” Aku berujar lirih. Lirih sekali. Hingga hanya deru angin yang mampu mendengar harapan itu.
            Tetapi, siapa yang tahu tentang takdir Pemilik Kuasa seutuhnya? Esok atau lusa, aku benar-benar akan merindu perihal tawa itu.
#          #          #
            Kaki kecil itu tergopoh-gopoh, antusias menyusuri setapak perkampungan kumuh sisi ibukota provinsi. Tak pelak, licak tanah sisa hujan siang tadi meninggalkan noda coklat pada kaki kecil itu. Bocah itu, Agam. Pun tak berhenti meneriakkan namaku. ‘Abang.. abang..’ warga perkampungan kumuh hanya menyaksikan takzim atas perilaku Agam yang sebulan terakhir ini dirundung kebahagiaan.
Grep!
            Tangan kusam adikku mencengkeram palang pintu dari bambu seadanya, mengatur napasnya sengal. Bergetarlah dinding kardus kami. Aku menoleh, demi menyaksikan adikku memburu oksigen.
            “Bang!” napasnya masih sengal. “Aku tahu.. aku tahu.. dari dulu aku tak pernah berhenti percaya itu. Hari ini.. Aku benar, Bang! Bahwa kita bukan hanya antara kau dan aku saja. Kita masih punya seorang lagi!” akhirnya Agam menyelesaikan kalimatnya juga, sembari nyengir diujung kalimatnya. Seorang lagi. Maksudnya?
            “Bapak, Bang! Bapak! Kita punya bapak!” hanya karena ujaran Agam barusan aku tersenyum getir. Bagaimana mungkin? Bahkan aku dan Agam bukanlah saudara sedarah. Adalah adik yang menangis dipojok rumah kardusku 5 tahun lalu, meminta makan. Hingga beberapa hari kedepan, hanya si bapak inilah yang menjadi perbincangannya.
“Bang, akhirnya kita punya bapak! Bapak Negara namanya!”. Cecar Agam malam itu, menjelang tidur. Senyumnya amat bahagia.
            “Berhentilah mengigau Agam! Tak ada baiknya kau terus berhayal.” Jawabku kala itu.
            “Aku tidak mengigau! Tak berhayal! Lusa. Lusa Bapak Negara akan datang. Mengunjungi rumah yang bapak sebut istana. Dan lihatlah! Aku akan kesana mengajakmu serta. Dan percayalah! Dialah bapak kita!!” Agam menarik selimutnya kasar, lantas tidur membelakangi aku. Agam, maaf bila Abang membuatmu marah malam itu.
#          #          #
            Lusa. Mentari yang ditunggu Agam tiba. Bahkan ia bangun lebih cepat. Baju yang ia cuci kemarin tengah dikenakan-nampak licin. Hasil menumpang setrika tetangga semalam. “Kita akan kesana Bang! Kau dan aku. Lihatlah nanti bapak pasti pangling saat sadar anaknya sudah besar-besar.” Agam berujar datar, aku tahu. Dia masih marah padaku.Saat ini aku hanya menatap Agam terluka. Tak pernahkah ia mengerti siapa Bapak Negara itu? Tuhan, aku mohon. Demi apapun berilah yang terbaik baginya.
            Menjelang sore aku dan Agam telah sampai pada pelataran dekat Istana Bapak. Jalanan masih sepi, lengang malah. Lalu, Agam melonjak tatkala serombongan mobil hitam metalik itu melintas. yang ku tahu, itu hanyalah serombongan kampanye bos eksekutif. Bapak gak mungkin ada! Tetiba, Agam bersorak.
            “Itu bapak! Itu bapak!” Agam menunjuk-nunjuk mobil nomor 3 yang jendela belakangnya tertutup sedikit, menampilkan seseorang yang duduk di dalammya. Aku terhenyak.
Entah bagaimana detailnya, yang aku tahu, aku melihat dengan jelas tubuh gempal Agam terlempar beberapa meter di pelataran, tertabrak mobil besar iring-iringan bos eksekutif. Yang aku tahu, Agamku yang polos antusias menjumpai bapaknya. Yang aku tahu, darah mengalir deras menggenang disekitar tubuh Agam. Yang aku tahu, orang-orang berbaju hitam itu mengerumuni tubuh tak berdayanya. Yang aku tahu, Bapak Negara hanya melongok sedikit ke luar jendela mobil. Yang aku sadari, aku tak mampu berbuat banyak. Agam pergi.
Raja kelabu menduduki singgasananya. Hari mulai menggelap. Segelap hatiku.
‘Agam. Bukan karna apa Abang masih berdiri kaku disamping pusaramu. Bukan. Bukan karna Abang bermuran durja. Abang hanya ingin kau tahu. Abang bahagia telah menemukanmu dulu. Abang senang kau merambah warna dihari-hari ku. Agam. Abang bangga padamu melebihi apapun.’
 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Power Of Santri

oleh: Muhamad Jamaludin             Santri kata yang tidak asing untuk kita dengar, bahkan kata yang sangat familiar dikalangan masyarakat indonesia, dalam hal ini penulis akan paparkan sepamahaman penulis mengenai kata dan makna itu, santri memiliki tiga gravitasi dalam orbit sebagain mana hukum Allah yang berlaku pada benda di alam semesta ini, diantaranya : Gravitasi ESQ, Gravitasi Iman, Islam, Ihsan, Gravitasi Akidah, syari’at, akhlak. Dalam hal ini semua subtansi gravitasi ini menjadi satu kepaduan yang saling terikat satu sama lainnya. Gravitasi ESQ Sungguh telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah (beberapa peristiwa), karena itu berjalanlah kamu di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan. Qs Aali-‘imraan (keluarga Imran) 3:137             Meminjam teori dari John naisbitt patricia aburdance, dalam bukunya yang terk...