Langsung ke konten utama

Sebuah Arti Pahlawan

                    
Siang ini matahari bersinar begitu terik, ditambah dengan padatnya jalan raya oleh para pengendara
bermotor. Ku seka peluh yang mulai membanjiri dahiku, sesekali mata ku milirik kearah jam mungil di
pergelangan tangan ku. 12.30. Aku semakin cemas, takut Andin sudah menungguku terlalu lama.
Akhirnya lampu hijau pun menyala, seketika ku lajukan motor vario yang sudah menjadi temanku hampir
4 tahun ini.
Jarak kampus dengan sekolah Andin tidak terlalu jauh, jadi mulai minggu kemarin aku memiliki tugas
tambahan menjemput Andin setiap pulang sekolah. Ku belokkan vario ku memasuki gerbang yang
membingkai sebuah bangunan biru dengan bertuliskan “SD N Cendekia” . terlihat halaman sekolah dasar
itu itu telah sepi. Tanganku masuk ditas ransel yang tersampir dibelakangku. Sebuah benda segi empat ku
dekatkan pada telingaku. Terdengar dering nada sambung di ujung sana, tak lama suara wanita paruh
baya menyahut. Ku tutup pembicaraan singakat itu setelah mendengar jawaan dari pertanyaan yang
kusampaikan. Tak berapa lama Nampak seorang gadis berlari lari kecil kearahku. Tasnya yang terlalu
besar untuk gadis semungil dia membuatnya sedikit kelelahan. Saat tiba di hadapan ku, aku mendengar
deru napasnya tersengal dan pipinya memerah. Andin memamerkan senyum yang biasa kusebut senyum
kelinci, karna dia punya dua gigi depan yang besar namun menggemaskan.
“kenapa dek? Tumben gak marah Mb jemput telat?” tanya ku sambil menyerahkan helm kecinya
Andin hanya menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala di sertai cengiran khasnya. Ada sebuah
kilatan binar mata yang aku tangkap dari cengirannya tadi. Hanya menunggu waktu saja, Andin pasti
akan bercerita sebuah kisah yang sedang ia fikirkan.
“adek mau beli jus enggak?” tanyaku sebagai tiket untuk mendapat ceritanya
“enggak” jawabnya singkat dengan tatapan mata tak lepas memperhatikan jalanan yang masih padat oleh
kendaraan bermotor. Baik, mungkin Andin sedang tak ingin cerita fikirku.
Tepat adzan dhuhur kami sampai di rumah. Setelah turun dan menaruh helm mungilnya di rak, Andin
masuk rumah dengan mengucap salam begitu nyaring. Sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan.
“umi mana mb?” tanya Andin di depan pintu kamarku.
“umi kan ke butik adek” jawabku yang di balas dengan desahan kecewanya,
“emang kenapa sih? Mau cerita?” tanya ku langsung pada sasaran. Terbukti Andin hanya menjawab
dengan sebuah cengiran yang tandanya memang benar.
“Sama mb Wulan juga gak papa, biasanya juga sama mb kan?”
“enggak lah, ini ceritanya agak berat Mb. Kata kakak PPL tadi suruh tanya sama orang tua.” Jawabnya
dengan nada yang terkesan serius.
Setelah berkata itu Andin berlalu ke kamarnya, pengen nulis-nulis katanya. Macam-macam saja
kerjaanya, terkadang bersikap seperti orang dewasa. Meski aku memang mengakui, Andin adalah potret
gadis kecil yang bisa dikatakan dewasa dari gadis seusianya. Terlepasa dari apa yang sebenarnya ingin
Andin ceritakan dengan Umi, sebuah dealine artikel sudah menungguku. Sebuah sub tema yang membuat
fikiranku serasa diperas, karena sampai sekarang aku belum mendapat judul yang pas untuk artikel ini.
****
Setelah adzan ashar adalah waktu yang biasanya di gunakan untuk keluarga ku berkumpul. Seperti sore
ini, Naufal sudah duduk manis di sofa sambil asyik menonton acara TV kesukaannya. Ku letakkan
nampan berisi tiga buah cangkir di meja. Mata ku mencari keberadaan adik bungsuku. Andin, dimana
dia? Tumben gak berebut remot dengan Naufal, pikirku.
“adek kemana mas? Tanyaku pada Naufal, dia adalah adik ku yang pertama. Sekarang ini Naufal sekolah
SMP kelas VIII atau dua.
“kayanya di teras, katanya mau nunggu Umi pulang.” Jawab Nufal tanpa mengalihkan pandangannya dari
layar TV.
Aku mengangguk, lantas mengecek keberadaana adik bungsu ku itu. Nampak Andin sedang menulis di
sebuah buku sambil duduk di sebuah kursi yang disediakan untuk tamu. aku pun berlalu menuju
kamarku, artikel itu harus selesai mala mini dan besok tinggal ku setor ke editing untuk di edit kemudian
di posting, pikirku.
Saat aku masih berkutat menyusun kata demi kata yang masih acak di kepalaku. Terdengar suara mobil
memasuki halaman rumah disusul sebuah jeritan histeris dari Andin. Bukan, bukan jeritan histeris karena
takut tapi jeritan histeris karena bahagia.
“yeeyyyyy….. Umi Abi udah pulang, yeye…” sorak Andin sambil menyambut tangan Abi yang
membelai sayang di kepalanya.
Setelah mencium tangan Abi, Andin langsung mencium tangan Umi sambil bergelayut manja.
“ada apa to adek ini? Kok tumben lebay?” tanya Umi dengan nada bercanda
“iya tuh… dari tadi sibuk nyariin Umi terus.” Timpal Nufal yang masih tidak beranjak dari tempat
duduknya.
Mendengar suara dari ruang tengah, aku pun memutuskan menyelesaikan artikel ku yang jauh dari
separoh selesai nanti malam. Siapa tahu setelah berkumpul nanti akua dapat inspirasi, pikirku. Sampai di
ruang tengah sudah begitu ramai dengan perdebatan antara Andin dan Naufal. Perlu diketahui, perdebatan
ini adalah kebiasaan mereka yang tidak bisa dihindari meski terkadang yang perdebatkan tidak penting.
Seperti saat ini, perdebatan dipicu karena menurut Naufal Andin adalah anak manja dan tentu pendapat
itu mendapat bantahan dari Andin.
“apa-apa mesti nyariin Umi, sedih dikit ngadu ke Umi. Itu namanya manja” kata Naufal dengan nada
mengejek yang dibuat-buat,
“ehh… enggak ya, kemarin Abi bilang Andin udah mandiri kok wekk” bantah Andin tak lupa sambil
menjulurkan lidahnya kearah Naufal sebagai tanda balasan,
“iya po? Paling Abi bilang gitu biar Andin gak sukanya ngadu mulu…” kali ini Naufal berkata sambil
pura-pura terkejut,
“hisss… udah Mas, kamu udah salim sama Umi Abi Naufal?” tanya ku untuk melerai perdebatan yang
mungkin akan meninggalkan korban. Medengar pertanyaan ku Naufal hanya menyengir dan langsung
salim. Tindakan Naufal ini tentu mendapat sebuah sorakan dari Andin.
“kenapa Andin nyariin Umi?” tanya Umi lembut,
“pengen cerita ke Umi” jawab Andin sambil ambil posisi duduk di dekat Umi, maka mungalirlah cerita
itu dengan penuh semangat.
“besok tuh hari pahlawan mi.., tadi di sekolah waktu mb Wulan belum jemput Andin di ceritain tentang
perjuangan pahlawan sama Ustadzah. Pahlawan itu juga ada yang perempuan lo Mi.. ada Cut Nyak Dien,
Cut Mutia ada juga yang gagah kaya Kapiten Patimura. Keren sampai di abadikan di uang fotonya” Tutur
Andin dengan mata berbinar-binar.
“bangga dong punya pahlawan yang sudah berjuang demi bangsa Indonesia.” Timpal ku menanggapi.
Tiba-tiba binar matanya berubah menjadi rasa penasaran.
“kenapa dek?” tanya Umi melihat Andin diam,
“kalo kita sekarang bisa jadi pahlawan kaya mereka gak ya Mi?” sebuah pertanyaan polo situ membuat
kami seketika terdiam.
“bisa dong.” Jawab Abi di tanggapi raut wajah Andin yang semakin penasaran,
“mana mungkin Bi, kan udah gak ada penjajah. Andin pengen jadi pahlawan, tapi Andin takut perang.”
Jawabnya sambil begidik,
“pahlawan jaman sekarang berjuang tidak harus menggunakan senjata. Kita bisa jadi pahlawan di sekitar
kita.” Jawab Abi bijak,
“contohnya seorang ibu yang berjuang melahirkan dan mendidik anaknya juga bisa di sebut pahlawan,
seorang ayah yang banting tulang berjuang mencukupi kebutuhan keluarganya juga bisa disebut
pahlawan.” Terang Abi panjang plus lebar,
“kalo mas Naufal sama mb Wulan bisa jadi pahlawan?” tanya Andin dengan pandangan langsung tertuju
padaku,
“emm….., mb Wulan sebagai pemuda bisa menjadi pahlawan, tapi versi mb Wulan gak pake ujung
tombak melainkan ujung pena.” jawabku kalem yang langsung mendapat tepukan histeris dari Naufal,
“wihh…. Mantap jiwa jawaban mb Wulan. Idolak memang.” Katanya sambil mengacungkan dua jempol,
“kalo aku,… jadi pejuang cinta mengharap ridho-Nya. Hahahha….” kata Naufal yang langsung mendapat
pukukan bantal dariku,
“Nah Andin pengen jadi pahlawan yang seperti apa?” tanya Umi balik ke topic Andin,
“emm… belum tahu, besok Andin kasih tahu.” Kata Andin dengan cengiran kelincinya.
Malam itu Andin menghabiskan makan malamnya dengan cepat. Saat ditanya Umi, ia hanya menjawab
ingin segera memutuskan menjadi pahlawan seperti apakah kelak di masa depan. Saat aku melintas di
depan kamarnya, Andin terlihat sibuk membaca Al-Quran dengan terbata-bata. Aku pun masuk kamar
dan kembali mencoba mencari ide dari judul artikel yang harus selesai besok siang.
                            ****
Rutinitas pagi sudah berlangsung dari jam empat pagi, di karenakan pukul 04.30 sudah adzan shubuh.
Saat sarapan Andin Nampak begitu berseri.
“udah tahu pengen jadi pahlawan kaya apa dek?” tanyaku tidak bisa menahan penasaran,
“udah” jawabnya singkat plus cengiran kelincinya,
“mau jadi apa?” kali ini Naufal yang bertanya,
“jadi hafidzah.” Jawab Andin penuh semangat,
“kenapa?” tanya Abi selidik,
“soalnya kalau jadi hafidzah nanati di akhirat bisa memberi syafaat dengan izin Allah pada orang-orang
yang ia sayangi. Andin pengen jadi pahlawan Abi, Umi, mbak Wulan, dan mas Naufal yang menolong
dengan syafaat yang Allah izinin sama Andin.” Jawaban polo situ, membuat sarapan pagi ini menjadi
haru. Aku melihat kilatan rasa haru dan bangga dari raut Abi dan Umi.
“ya.. itu pahlawan yang sangat mulia, enggak kalah sama pahlawan-pahlawn yang telah gugur demi
bangsa Indonesia.” Kata Naufal sambil mengusap kepala Andin,
“karena pahlawan adalah mereka yang memiliki niat memberi kebaikan dan mau berkorban untuk orang
lain dengan mengharap balasan dari Allah saja.” Kata Umi sekaligus mengakhiri waktu sarapan.
Ku lajukan varioku meninggalkan halaman rumha. Fikiranku masih tertinggal pada peristiwa sarapan pagi
tadi. Dari seorang adik kecilku yang masih duduk di kelas 2 SD, aku menyadari. Yah…, semua orang bisa
menjadi pahlawan karena hakikat seorang pahlawan atau pejuang adalah mereka yang mau
mengorbankan jiwa dan raganya demi kebaikan orang lain tanpa mengharap balasan. Mereka hanya
percaya bahwa Allah pasti akan membalsan semua pengorbanan mereka. Untuk menjadi seorang
pahlawan tak selalu harus memanggul senjata atau terlibat dalam pertempuran heroik.
Lalu lalang kendaran bermotor semakin bertambah. Aku menghela napas kecil. Seandainya masyarakat
bangsa ini lebih mengartikan perjuangan pahlawan tentang tekad dan semangat juang mereka, bukan hasil
dan sejarah perjuangan mereka, tentu hari pahlawan akan diperingati dengan semangat berlipat ganda.
Tentu upacara bendera akan dilaksanakan dengan hikmat bukan formalitas belaka.
Hari ini tepat tanggal 10 November lewat ucapan polos adik kecilku, aku semakin mengerti hakikat
pahlawan dan hari pahlawan. Aku semakin mengerti, mereka yang gugur mendahului kita tidak berharap
sebuah gelar melainkan sebuah tekad untuk terus menyambung semngat juang yang ada dalam diri
mereka dulu. Hari ini juga, aku semakin sadar bahwa kita sebagai bangsa pejuang, memiliki aliran darah
seorang pejuang yang tangguh meski diserang oleh berbagai arah.

Bantul, 10 November 2017

Oleh: atikah_wulan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Power Of Santri

oleh: Muhamad Jamaludin             Santri kata yang tidak asing untuk kita dengar, bahkan kata yang sangat familiar dikalangan masyarakat indonesia, dalam hal ini penulis akan paparkan sepamahaman penulis mengenai kata dan makna itu, santri memiliki tiga gravitasi dalam orbit sebagain mana hukum Allah yang berlaku pada benda di alam semesta ini, diantaranya : Gravitasi ESQ, Gravitasi Iman, Islam, Ihsan, Gravitasi Akidah, syari’at, akhlak. Dalam hal ini semua subtansi gravitasi ini menjadi satu kepaduan yang saling terikat satu sama lainnya. Gravitasi ESQ Sungguh telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah (beberapa peristiwa), karena itu berjalanlah kamu di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan. Qs Aali-‘imraan (keluarga Imran) 3:137             Meminjam teori dari John naisbitt patricia aburdance, dalam bukunya yang terk...